Tuesday, April 30, 2013

Kebebasan Pers atau Pers Bebas



Setelah rezim Orde Baru 1998 jatuh, kehidupan pers di Indonesia memasuki era kebebasan yang nyaris tanpa restriksi (pembatasan). Bila di era Orba terjadi banyak restriksi, di era reformasi ini pers menjadi bebas tanpa lagi ada batasan-batasan dari kebijakan pemerintah.
Konstelasi tersebut, tentu sangat dibutuhkan pers dan dalam upaya perwujudan masyarakat demokratis serta perlindungan HAM. Bukankah kebebasan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi (inti dari kebebasan pers) diakui dalam konstitusi kita (pasal 28 yunto pasal 28F UUD 45 amandemen keempat) serta pasal 19 Deklarasi Universal HAM?
Karena itu, pers yang bebas sangat penting dan fundamental bagi kehidupan demokratis. Sekalipun bisa diakui, bahwa pers yang bebas bisa baik dan buruk. Tapi, tanpa kebebasan pers, sebagaimana yang dikatakan novelis Prancis, Albert Camus, yang ada hanya celaka.
Kemudian, dimanakah keburukan pers bebas? Pers bebas menjadi buruk. Menurut Jacob Oetama, bila kebebasan pers yang dimiliki pengelola pers itu tidak disertai peningkatan kemampuan profesional, termasuk di dalamnya professional ethics (Jacob Oetama, 2001).
Apakah kemampuan profesional pengelola pers sekarang sudah meningkat? Persoalan tersebut mungkin bisa diperdebatkan. Namun, apakah etika profesional pengelola pers tersebut sudah meningkat? Rasanya, pertanyaan itu mudah dijawab, yakni secara umum malah merosot. Kalangan tokoh pers sendiri mengakui hal tersebut.
Lukas Luwarso, mantan Direktur Eksekutif Dewan Pers menjelaskan, bahwa kebebasan pers yang sangat longgar saat ini tidak hanya menumbuhkan ratusan penerbit baru. Akan tetapi, juga menimbulkan kebebasan pers yang anarkis. Kebebasan pers telah menghadirkan secara telanjang segala keruwetan dan kekacauan. Publik bisa menjadi leluasa membaca dan menyaksikan pola tingkah figur publik. Serta, hampir tidak ada lagi rahasia atau privasi. Tabloid-tabloid yang sangat sarat berita dan foto pornografi sangat marak. Judul-judulnya pun sensasional, menakutkan dan bahkan menggemparkan (scare headline).
Mekanisme untuk menghentikan kebebasan pers yang kebablasan tersebut secara formal hanya bisa dilakukan melalui dua cara. Yakni, melalui pengadilan dan penegakkan etika profesi oleh dewan pers atau atas kesadaran pengelola pers untuk menjaga kehormatan profesinya (Lengkapnya baca : “Pasal Pornografi Dalam Pers”).
Guna memaksa, cara kedua ini mungkin lemah dan kekuatannya hanya merupakan moral prefosi. Sejarah membuktikan, mengharapkan Dewan Pers berdaya menegakkan etika profesi wartawan adalah sesuatu yang otopis. Sedangkan cara pertama, penegakkan hukum di pengadilan itu lebih efektif karena bersifat memaksa dan ada institusi negara untuk memaksakannya.
Dalam konteks tersebut, tindakan polisi sebagai ujung tombak sistem peradilan pidana menjadi tumpuan. Kalau polisi pasif saja dan menunggu laporan, apalagi kalau malah ikut menikmati, tentu pers porno akan kondusif berkembang.
Selama penegak hukum kita gampang “dikompromi,” maka tidak terlalu salah pendapat yang mengatakan, polisi kita sudah tak berdaya alias loyo didalam memberantas pornografi.*(IB)


No comments:

Post a Comment