Tuesday, April 30, 2013

Tingkat Kebebasan Pers di Indonesia Makin Buruk




Dok/Fajar
Andreas Harsono
RUNTUHNYA rezim Suharto membawa angin segar bagi kebebasan pers di Indonesia. Pekerja pers mulai memiliki akses yang begitu mudah dalam mendapatkan informasi untuk kepentingan publik. Begitu juga perusahaan pers tumbuh subur bagaikan jamur. Sayangnya, kebebasan pers tersebut belum mampu dimaknai dengan benar oleh kalangan tertentu, khususnya pejabat pemerintahan yang menjadi sumber informasi. Imbasnya, tidak sedikit pekerja pers yang menjadi korban. Lalu bagaimana pandangan Yayasan Pantau mengenai kebebasan pers Indonesia? Berikut penjelasan Ketua Yayasan Pantau Andreas Harsono saat berbincang dengan wartawan FAJAR  Hamsah Umar.Bisa Anda gambarkan seperti apa pers saat ini?Menurut hasil riset atau indeks report www.rsf.org, tingkat kebebasan pers di Indonesia dalam kurung 10 tahun terakhir, menunjukkan kalau kebebasan pers kita makin buruk. Padahal pada zaman Suharto memerintah, ada kecenderungan pers sedikit lebih baik.Apa yang menjadi tolak ukur menilai kebebasan pers memburuk?Saya kira yang menjadi alasan sehingga ada penelitian menyebutkan kebebasan pers di Indonesia makin buruk 10 tahun terakhir karena berkembangnya kekerasan terhadap wartawan, hingga terjadi pembunuhan pada wartawan. Ini mengisyaratkan bahwa kekerasan terhadap wartawan makin hari makin meningkat, dan tentu saja itu pertanda buruk bagi kebebasan pers kita di Indonesia.
Kekerasan terhadap wartawan ini, tidak hanya berdampak pada penyiksaan terhadap wartawan maupun keluarganya, khusus yang dibunuh karena menjalankan tugas. Tapi lebih dari itu, kekerasan terhadap wartawan akan menghambat publik untuk mendapatkan informasi.
Dari segi hukum, seperti apa pendapat Anda?Kalau ditinjau dari segi hukum, saya juga berpendapat bahwa kebebasan dalam mendapatkan informasi juga buruk. Misalnya saja dari segi produk hukum. Pada zaman Hindia Belanda ada 35 pasal yang bisa menggiring orang dipenjara karena berekpresi, baik itu berupa tulisan maupun bentuk lainnya. Dari 35 pasal yang berkaitan dengan kebebasan informasi itu, pelaku yang dianggap melakukan pelanggaran terancam hukuman maksimal tujuh tahun penjara.
Kemudian pada zaman Suharto berkuasa, regulasi tersebut dinaikkan menjadi 37 pasal, dengan ancaman hukuman seumur hidup. Setelah Suharto turun, di mana Yusril Ihza Mahendra menjadi Menteri Hukum dan HAM, pasalnya kembali dinaikkan menjadi 42 pasal. Ancaman tertinggi dari pasal-pasal tersebut adalah hukuman maksimal 20 tahun penjara. Singkat kata, 10 tahun setelah Suharto jatuh, pasal yang bisa menjerat orang karena berekpresi ada lebih 130 pasal.
Terkait kekerasan terhadap wartawan, apa penyebabnya sehingga bisa terjadi?Ada macam-macam penyebab sehingga kebebasan pers tidak berjalan sesuai harapan kita. Salah satu penyebabnya karena kurang mengertinya sebagian kalangan tentang prosedur jurnalistik. Kalau misalnya ada ketidakpuasan terhadap pemberitaan atau terhadap wartawan, mereka menempuh caranya sendiri salah satunya adalah melakukan kekerasan.
Padahal, kalau ada ketidakpuasan terhadap pemberitaan, kalangan yang merasa tidak puas ini bisa mengadukan wartawannya ke media bersangkutan atau ke dewan pers. Kalau dia adalah wartawan elektronik bisa melalui KPI. Prosedur inilah yang tidak dimengerti masyarakat.
Dalam kasus wartawan dibunuh, kasusnya menjadi tidak jelas, di mana penegak hukum tidak menghukum pelaku yang telah melakukan kekerasan terhadap wartawan.
Siapa saja contohnya?Pada 2010 lalu, ada tiga wartawan kita yang dibunuh, namun sampai sekarang pelakunya tidak dijerat. Dia adalah Adriansyah wartawan asal Papua, Ridwan Salamun di Ambon, dan Alfred Milu Lemang. Di sini saya melihat bahwa ada kekebalan hukum dari pelaku kekerasan terhadap wartawan. Ardiansyah misalnya kematiannya dianggap bunuh diri. Akibatnya pelaku dibiarkan bebas tanpa ada hukuman.
Begitu juga dengan Ridwan Salamun. Meski pelakunya sudah diproses hukum, tapi di pengadilan dia dinyatakan bebas. Karena itu, saya kira polisi harus bekerja keras untuk mengungkap setiap pelaku kekerasan yang menghambat kebebasan pers.
Jika seperti ini, bagaimana seharusnya pemerintah bersikap?Saya kira, pemerintah perlu mencabut undang-undang bersifat represif, termasuk peraturan pemerintah (PP) yang melarang berekspresi. Banyak aturan yang represiflah mengakibatkan orang masuk penjara. Karenanya, menurut saya undang-undang atau peraturan pemerintah yang tidak benar harus dicabut.Terakhir, bisa Anda memberi tanggapan mengenai anggapan kebebasan pers kebablasan?Anggapan seperti itu saya kira ada benarnya juga. Itu juga diakui beberapa kalangan pekerja pers. Oleh karena itu, saya kira media juga harus melakukan introspeksi diri. Salah satu alasan kenapa wartawan dianggap kebablasan karena banyak prosedur kerja yang dilakukan secara tidak benar, khususnya media online. Karena mengejar informasi yang sifatnya up to date, sehingga terkadang mengabaikan prosedur kerja yang semestinya dilalui.
Sekalipun demikian, pemerintah dan masyarakat juga tidak boleh ambil tindakan represif. Lebih penting lagi, agar pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan tidak main hakim sendiri dalam menyikapi persoalan yang dihadapi.
Kalau ada kesalahan dalam pemberitaan, silahkan melakukan kritik kalau perlu disebutkan nama media dan wartawan yang memuat berita yang dianggap keliru. Pengelola media juga saya kira perlu memperjelas nama wartawannya, sehingga masyarakat lebih mudah melakukan kontrol. (hamsah.fajar@gmail.com)

No comments:

Post a Comment